TARAKAN – Warga Tarakan lagi heboh banget sama lomba lari jalanan yang tiap tahun digelar! Acara ini disebut sebagai “Lomba Pelari Kampung,” di mana siapa aja bisa daftar dan langsung tanding. Sistemnya simpel, kalau ada dua pelari yang setuju buat duel, langsung gas tanpa aturan ketat!
Di tengah maraknya produk sepatu modern yang menawarkan kenyamanan dan performa maksimal, para pelari jalanan di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, justru memilih melawan arus. Dalam ajang balap lari jalanan yang kini menjadi perbincangan hangat di bulan suci Ramadan, sebagian besar peserta tampil tanpa alas kaki.
Bagi mereka, bertelanjang kaki bukan sekadar gaya, melainkan sebuah pilihan yang memberikan kebebasan dan keunggulan tersendiri. Salah satu pelari, Indra A.K.A Curut (19), berbagi kisah dan pandangannya tentang fenomena ini.
Bertelanjang Kaki: Pilihan yang “Leluasa”
Uniknya, para pelari jalanan ini menolak menggunakan sepatu, meskipun alas kaki dipercaya dapat meningkatkan kecepatan lari. Curut, salah satu peserta yang kerap menjadi juara, menjelaskan alasannya.
“Kalau pakai sandal atau sepatu, lebih kekang larinya. Lebih leluasa lah dengan bertelanjang kaki,” ungkapnya dengan nada santai.
Menurut Curut, sepatu justru membatasi ruang gerak dan membuatnya merasa terkekang. Pilihan ini memang tidak luput dari risiko kulit kaki yang robek atau lecet menjadi hal biasa bagi para pelari seperti dirinya. Namun, ia mengaku bahwa cidera yang dialami sejauh ini hanya sebatas luka lecet.
“Kami lecet sudah biasa,” katanya, menunjukkan ketangguhan yang telah terasah dari pengalaman.
Pengalaman dan Prestasi
Curut bukan nama baru di dunia balap lari jalanan Tarakan. Selama tiga tahun mengikuti event tahunan ini, ia telah meraih banyak kemenangan. “Soal kemenangan, sudah banyak juara dalam balap lari ini,” ujarnya bangga.
Namun, ia juga mengakui bahwa perjalanan ini tidak selalu mulus.
“Cidera paling parah ada di kaki,” kisahnya, mengenang momen ketika ia harus ekstra hati-hati agar tidak jatuh saat berlari.
Meski begitu, Curut tetap menjalani lomba dengan penuh semangat. Baginya, balap lari jalanan bukan sekadar adu kecepatan, tetapi juga ajang silaturahmi dan keseruan. “Hobi jadi saya lebih semangat menjalaninya,” tambahnya.
Klasifikasi: “Hanya Umum Saja”
Menariknya, Curut menyebutkan bahwa balap lari jalanan ini tidak memiliki klasifikasi khusus. “Tidak ada kelas tertentu, hanya umum saja,” katanya. Sistemnya sederhana: jika dua pelari merasa cocok untuk beradu, maka lomba pun dimulai. Fleksibilitas ini menjadi salah satu daya tarik ajang tersebut.
Makna di Balik Pelari Kampung
Bagi Curut, pelari kampung adalah lebih dari sekadar kompetisi. Ini adalah hobi, ajang silaturahmi, dan panggung untuk menunjukkan potensi. Meski harus menghadapi risiko cidera, ia tetap setia menjalani lomba ini dengan penuh dedikasi. “Pelari kampung punya keseruan tersendiri,” tuturnya.
Selain itu, event ini juga berdampak positif buat ekonomi rakyat kecil. UMKM, terutama pedagang kaki lima, meraup untung besar karena banyaknya penonton dan peserta. Jadi, bisa dibilang acara ini nggak cuma soal adu kecepatan, tapi juga bantu roda ekonomi berputar!
Uniknya, lomba ini nggak cuma diikuti warga Tarakan, tapi juga dari luar daerah bahkan luar negeri! Ketua Koordinator Lapangan, Boy L, bilang kalau peserta datang dari Nunukan, Malinau, Berau, Samarinda, sampai Tawau, Malaysia.
“Kita buka kesempatan buat siapa aja yang mau ikut. Yang penting mereka siap tanding satu lawan satu, tanpa ribet aturan kelas atau berat badan,” jelas Boy.
Panitia pun menjamin bahwa mereka akan bertindak tegas jika ada insiden. “Kalau ada yang bikin onar, langsung kita amankan!” kata Ricky.