Dari sebuah gang kecil di Tangerang, suara keras dan lantang muncul dari balik warung sederhana yang dikenal dengan nama “Warung Basmen.” Di tempat itulah, The Jems lahir—band hardcore yang sekarang dikenal sebagai peluru mentah dari pinggiran kota, siap menghantam telinga dan mengguncang realita.
Awalnya, cuma dua anak muda gabut pasca-SMA: Dito Raharjo (vokal) dan Afrizal Aji Bayu (bass). Mereka butuh tempat buat meluapkan kejenuhan, bukan buat cari keren-kerenan. Lalu datanglah Kesid Mukti (gitar) dan Anugrah Fikriansyah (drum). Komplit sudah formasi The Jems—sekumpulan anak muda yang mungkin sok tahu, tapi percaya diri, dan yang jelas: punya sesuatu buat disuarakan.
The Jems itu kayak buku binder anak sekolah—penuh coretan, acak-acakan, tapi punya makna. Musik mereka jadi wadah curhat, pelampiasan, dan kadang bentuk perlawanan. Bukan buat mengubah dunia, tapi buat berdamai dengan diri sendiri.
Nah, album terbaru mereka ‘Buy One Get War’ adalah bentuk paling jujur dari perjalanan itu. Isinya bukan soal politik global atau strukturalitas yang rumit. The Jems malah lebih milih ngomongin hal-hal yang sering dipendam: rasa kalah, kegelisahan usia 20-an, tekanan dari sekitar, sampai lapar akan pengakuan dan makna hidup.
“Buy One Get War” bukan album sok bijak yang nawarin solusi. Album ini lebih kayak temen yang lagi ngamuk di sebelah—emosional, kacau, tapi relatable. Kadang cukup ngangguk, karena ngerasa isi hati juga ikut dibongkar.
Secara musik, The Jems nggak mau terjebak di satu zona. Mereka ngambil semangat dari Fugazi, nuansa perang dari Champion, sampai depresinya Q. Tapi mereka bukan copycat—mereka ambil yang cocok, lalu dibikin versi sendiri. Hasilnya? Campuran trial-and-error yang justru bikin musik mereka terasa segar dan nekat.